Sudah hampir 13 tahun terhitung sejak 2008, praktik perampasan ruang hidup di Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya masih berlanjut. Perlu diketahui konflik ini bermula ketika pada tanggal 30 Desember 2008 Walikota Surabaya menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 188.451.366/436.1.2/2008 tentang Pemindahtanganan aset dengan cara tukar menukar terhadap aset Pemerintah Kota Surabaya berupa tanah eks ganjaran atau bondo deso di beberapa wilayah Surabaya Barat, salah satunya di Lidah Kulon yakni Waduk Sepat.
Bermula dari kesepakatan antara PT. Ciputra Surya, Tbk dengan Pemerintahan Surabaya dengan membuat Surat Perjanjian Bersama Nomor: 593/2423/436.3.2/2009/Nomor: 031/SY/sn/LAND-CPS/VI-09 telah ditemukan manipulasi data fisik bahwa yang menjadi obyek tukar guling adalah kawasan eks-Waduk. Berdasarkan surat Nomor: 109/5/1991F.4 Tertanggal 15 Januari 1991 Waduk Sepat mempunyai luas 60.675.M² atau sekitar 6,67 hektar lalu diubah dengan kemunculan Surat Ukur pada 21-12-2010 Nomor 641/Lidah Kulon/2010, Luas 59.857 M2 atas nama Ciputra Surya yang tertulis sebagai “tanah pekarangan.” Padahal sampai saat ini waduk tersebut masih eksis dan aktif sebagai kawasan reservoir dan tangkapan air.
Warga bersama WALHI Jawa Timur
dengan LBH Surabaya serta jaringan lainnya pernah melakukan gugatan Citizen Law
Suit selamat dua kali yakni 2016 dan 2019, semua gugatan tidak mendapatkan
hasil. Pada akhir 2022 WALHI Jatim bersama warga Sepat dan Tim Kerja Advokasi
untuk Kedaulatan Agraria (TEKAD GARUDA) kembali mengajukan gugatan, kali ini
melakukan gugatan khusus lingkungan hidup dengan mekanisme gugatan yang
diwakilkan oleh organisasi atau dikenal dengan gugatan legal standing
kepada PT. Ciputra Kirana Dewata, Tbk dan PT. Ciputra Devolpment, Tbk sebagai
wujud baru dari PT. Ciputra pasca merger yang tercatat dalam nomor register
perkara 1172/Pdt.G/LH/2021/PN.Sby di Pengadilan Negeri Surabaya.
Waduk
Sepat Dirampas Melalui Pelanggaran Hukum
Secara data dan fakta Waduk
Sepat merupakan waduk yang masih berfungsi hingga kini. Pada tanggal 9 April
2021 pihak PT. Ciputra Kirana Dewata, Tbk sebagai pihak yang membeli obyek
sengketa dari PT. Ciputra Surya Tbk, melalui surat undangannya bernomor
020/I.H/DD/IV/CIDEV-2021, menyampaikan bila pihak PT. Ciputra Kirana Dewata,
Tbk akan melakukan koordinasi penataan area waduk yang sudah memperoleh izin
dari Pemerintahan Kota Surabaya. Atas dalih itu juga aktivitas pengurukan
dilakukan sekalipun pada waktu itu obyek Waduk Sepat masih dalam status quo yakni tahap pemeriksaan di
pengadilan tingkat kasasi. Hal tersebut menjadi bukti bahwa pihak pengembang
telah membangkang dan tidak menghormati proses peradilan sebagaimana yang sudah
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Padahal sebelumnya merujuk pada
Putusan Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur Nomor:
100/II/KI-Prov.Jatim-PS-A-M-A/2016 tanggal 24 Februari 2016. Putusan tersebut memerintahkan
Walikota Surabaya untuk membuka dokumen-dokumen keputusan yang menjadi dasar
alih fungsi lahan Waduk Sepat. Pemerintah Kota Surabaya pun mengajukan
keberatan atas putusan KIP tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Lalu di Pengadilan
Tata Usaha Negara sebagaimana putusannya No. 42/KIP/ 2016/PTUN-Sby menguatkan
putusan KIP. Pemkot lalu mengajukan upaya lanjutan yakni kasasi, terbitlah
putusan bernomor No. 438 K/TUN/2016 yang enguatkan putusan Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara Surabaya. Terakhir Pemkot mengajukan upaya hukum luar biasa
mengajukan permohonan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung yang memeriksa pada tingkat peninjauan kembali dalam putusannya Nomor 111 PK/TUN/2017 amarnya menyatakan menolak permohonan peninjauan kembali dari pemohon. ebagai pihak yang kalah dalam gugatan sengketa informasi publik, selain itu Pemkot juga harus segera membuka dokumen terkait, sebagai bentuk penghormatan atas hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Pasca itu warga menggelar aksi pada 25 Januari 2018, guna meminta Pemkot Surabaya membuka dokumen izin dan lain-lain terkait Ciputra. Namun, pemkot melalui Kepala Bagian Administrasi Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Eddy Christijanto dan Kepala bagian Hukum, Ira Tursilowati, mengatakan bahwa dokumen yang diminta tersebut tidak ada.
Lalu pada tahun 2018, Walikota Surabaya mengeluarkan surat perintah/himbauan dari surat Walikota Surabaya degan Nomor: 180/1172/436.1.2/2018 yang menyampaikan bahwa larangan aktivitas pembangunan di Waduk Sepat sebelum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap serta perizinan sesuai ketentuan yang berlaku. Ironinya, aktivitas pengurukan Waduk Sepat berjalan, hal ini menunjukan bahwa PT Ciputra Surya kini PT. Ciputra Kirana Dewata, Tbk tidak tunduk pada himbauan walikota. Pun dalam argumen hukum yang berlaku, kami menilai bahwa ada beberapa peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh PT. Ciputra Kirana Dewata, Tbk, salah satunya adalah melanggar Pasal 42 ayat (8) huruf a Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 12 tahun 2014 yang menyatakan bahwa upaya pengelolaan kawasan sepadan waduk/bozem, dilakukan dengan melindungi kawasan dengan pengembangan ruang terbuka hijau dan/atau ruang terbuka non hijau di sepanjang sepadan waduk/bozem dari kegiatan yang menyebabkan alih fungsi lindung dan menyebabkan kerusakan kualitas sumber air. Selanjutnya melanggar pasal 5 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang menyatakan bahwa Kawasan sekitar danau/waduk, dan Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahnya merupakan kawasan lindung yang wajib dipertahankan keberadaannya.
Gugatan
Rekopensi Mengancam Penegakkan Hukum Lingkungan
Selama proses persidangan
terakhir memasuki babak eksepsi, pihak Pemerintah Kota Surabaya sebagai
tergugat seolah-olah lepas tangan terhadap persoalan alih fungsi waduk di
kawasan kelolanya, bahkan pihak tergugat yakni dari Ciputra mengajukan gugatan
rekopensi dengan menuduh WALHI telah melakukan pencemaran nama baik perusahaan
dan menuntut ganti kerugian sebesar Rp. 2.000.000.000 (Dua Miliyar Rupiah).
Taktik ini jelas dimaksudkan untuk mengkaburkan pokok atau subtansi gugatan publik
yakni gugatan lingkungan ke arah gugatan sengketa lahan dan berdampak merugikan
pada satu pihak.
Perlu diketahui upaya gugatan rekopensi tersebut mengarah pada upaya pembungkaman atau menghambat pihak yang ingin memperjuangkan lingkungan yang baik dan sehat atau masuk dalam kategori Strategic Lawsuit against Public Participation (SLAPP). Dalam kasus SLAPP, isu-isu kepentingan publik dipertaruhkan, termasuk topik-topik seperti perampasan ruang hidup, korupsi dan kejahatan lingkungan hidup serta topik lainya yang biasa menjadi perdebatan publik di dalam alam demokrasi delebratif.
Ruang partisipasi demokratis
dan upaya untuk memilih pembelaan terhadap mempertahankan ruang hidupnya adalah
dua sisi mata uang yang sama, keduanya merupakan prinsip dasar hak asasi
manusia yang harus dilindungi, dihormati, dijamin dan saling terkait. Secara umum, aturan hukum internasional yang
mendasari Anti–SLAPP terabadikan di dalam beberapa instrument internasional
termasuk Universal Declaration of Human
Rights (UDHR), International
Convonent on Civil and Political Rights (OHCHR), dan ASEAN Human Rights Declaration (AHRD).
Melalui adanya komitmen
masyarakat internasional tersebut diharapkan hak-hak rakyat dapat beroperasi
secara bebas, tanpa rasa takut bahwa mereka dapat mengalami ancaman berupa
tindakan intimidasi, kekerasan maupun mendapat gugatan balik dari perusahaan
dan agen negara. Dengan demikian, setiap orang semestinya memiliki kebebasan
melakukan pembelaan dan menanggapi masalah yang mempengaruhi keberlangsungan
hidup mereka terutama terkait dengan lingkungan hidup, karena berkaitan dengan
keberlanjutan kehidupan warga yang ada di wilayah tersebut.
Sementara dalam gugatan
rekopensi yang dialamatkan ke warga dan WALHI adalah bentuk upaya membungkam
dan menghambat penegakkan hukum lingkungan yang jelas termanifestasi dalam UU
Pencegahan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) No. 32 Tahun 2009 di
mana, alih fungsi kawasan yang mengakibatkan berubahnya ekosistem merupakan
bentuk perusakan lingkungan hidup. Selain itu, tindakan pembiaran alih fungsi
waduk oleh Pemkot Surabaya yang juga melawan UU PPLH di mana pengelola wilayah
harus mengedepankan prinsip pencegahan dalam bentuk perlindungan, malahan
membiarkan alih fungsi waduk yang menjadi eksositem penting yakni sebagai
kawasan reservoir dan tangkapan air.
Hal ini harus menjadi perhatian bagi Pengadilan Tinggi Surabaya, khususnya hakim yang sedang bertugas menangani kasus ini untuk melihat data dan fakta yang ada, serta mempertimbangkan bahwa kasus Waduk Sepat bukanlah kasus sengketa lahan tetapi kasus lingkungan hidup, di mana ada ada pola alihfungsi kawasan lindung air setempat menjadi perumahan. Padahal jelas dalam UU PPLH telah mengamanatkan perlindungan dan pencegahan dalam konteks lingkungan hidup, sebagai upaya menghindari kerusakan yang akan merugikan kawasan dan warga di sekitar tempat waduk itu ada.
Penulis:
- Taufiq Rochim (Staf Bidang Lingkungan LBH Surabaya)
- Wahyu Eka Styawan (Direktur WALHI Jawa Timur)