Bantuan hukum untuk rakyat miskin, buta hukum, dan korban pelanggaran HAM

KEGIATAN KOORDINASI DAN EVALUASI RAPID RESPON UNIT BERSAMA MULTISTAKEHOLDER

Program Promote Human Rights and Equality to Achieve Sustainability (HEAL) yang mempromosi kan hak asasi manusia (HAM) dan kesetaraan untuk mencapai keberlanjutan dalam menanggapi dampak Covid-19 di dua provinsi yaitu Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat yang dilakukan oleh Save The Children (Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC)) bersama dengan Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Yayasan TIFA. Program ini didukung oleh Euoropean Union (EU) selama 2 (dua) tahun, mulai tahun 2021 sampai dengan tahun 2022. Program HEAL bertujuan untuk lebih melindungi hak kelompok rentan, termasuk anak-anak dengan focus pada penguatan hak atas perlindungan sosial dari pemerintah. Program HEAL Di Jawa Timur meliputi, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Gresik.

Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam program ini adalah “Konsolidasi dan Evaluasi rapid respon unit bersama Multistakeholder”. Kegiatan ini dilaksanakan selama dua hari sejak tanggal 26-27 September 2022 bertempat di Harris Hotel Gubeng Surabaya. Adapun beberapa temuan terkait hambatan dalam melakukan advokasi atau pendampingan masyarakat di lapangan yang disampaikan oleh Tim Rapid Respon Unit terbagi menjadi dua kategori, yakni hambatan struktural dan hambatan kultural. Sebagai salah satu contoh hambatan struktural yaitu seperti adanya oknum perangkat penegak hukum yang pasif dalam merespon laporan/pengaduan masyarakat, tidak komunikatif, tidak sensitive & cenderung meremehkan permasalahan, seperti misalkan menolak laporan/pengaduan secara serta merta tanpa pendalaman dan mengambil kesimpulan terlalu cepat.

Kemudian hambatan struktural selanjutnya adalah aparat penegak hukum kurang memahami peraturan-peraturan yg ada dan adanya maladministrasi. Selanjutnya, juga dipaparkan mengenai hambatan kultural. Sebagai salah satu contohnya yaitu permasalahan yg dialami perempuan (KDRT, pelecehan seksual, dsb) masih dianggap sebagai aib bagi dirinya ataupun keluarga, sehingga mereka tidak berani untuk melapor. Kemudian hambatan kultural yang kedua yakni adanya bias pemahaman masyarakat terhadap agama, contohnya suami masih beranggapan bahwa isteri harus patuh secara mutlak kepada suami dalam hal apapun. Selain itu juga konstruksi dan struktur sosial yang mendukung pola-pola perlakuan yang tidak adil pada perempuan dan anak (stereotip, victim blaming, reviktimisasi).

Selanjutnya, adapun beberapa inside yang terhimpun dari peserta multistakeholder atas beberapa hambatan-hambatan yang ditemukan diantaranya yakni perlunya dilakukan sebuah mapping stakeholder tingkat desa, untuk menilai dan meninjau suatu sistem yang diterapkan di desa dan hal ini juga dapat dijadikan sebagai suatu sistem control pengawasan masyarakat.