Setiap perempuan secara kodrat atau
secara alamiah melekat atas dirinya hak untuk menstruasi, mengandung,
melahirkan, dan menyusui. Kenyataan tersebut yang kemudian dikonstruksikan oleh
masyarakat hingga saat ini bahwa ada perbedaan yang jelas antara perempuan
dengan laki-laki. Namun yang terus terjadi ialah perlindungan dan pemenuhan hak
yang tidak berimbang. Perbedaan yang demikian akhirnya dijadikan dasar oleh sebagian
besar masyarakat saat ini untuk mengamini bahwa laki-laki memiliki kedudukan
yang lebih superior dan lebih memiliki otoritas dalam segala aspek kehidupan
dibandingkan dengan perempuan. Hal
tersebut yang lantas membuat masyarakat masih mewajari atau tidak memberikan
perhatian khusus kepada perempuan ketika perempuan memperoleh perlakuan yang
diskriminatif ataupun terlanggar hak asasinya. Termasuk salah satu persoalan
yang dinilai melanggar hak asasi perempuan atas otoritas tubuhnya dan berkaitan
dengan hak atas kesehatannya yaitu mengenai praktik ‘Husband Stitch” yang sedang ramai diperbincangkan.
Husband stitch (jahitan suami) diartikan sebagai
jahitan tambahan yang dimungkinkan diterima oleh seorang ibu pasca melahirkan.
Jahitan pervaginaan yang didapatkan oleh ibu pasca melahirkan pada dasarnya
sangat dimungkinkan dilakukan, namun dalam kasus husband stitch ini jumlah jahitan yang diberikan justru melampaui
apa yang diperlukan guna memperbaiki robekan alami ataupun luka dari episiotomi
(sayatan yang dibuat pada bagian perineum atau jaringan yang berada di antara
lubang vagina dan anus) dalam persalinan normal. Adapun tujuan dari husband stitch ini tak lain untuk
mengencangkan vagina ke dalam kondisi sebelum ibu melahirkan dan diklaim dapat
meningkatkan kesejahteraan perempuan dengan menjaga ukuran dan bentuk vagina,
baik untuk meningkatkan frekuensi orgasme atau untuk meningkatkan kenikmatan seksual
suami ketika hendak melakukan hubungan seksual kembali dengan istrinya.[1]
Dalam praktiknya, husband stitch seringkali
dilakukan tanpa persetujuan istri. Meskipun istilah husband stitch belum diakui secara tegas dalam dunia medis, namun
praktik tersebut dianggap sebagai suatu tindakan medis yang tidak etis terlebih
terkesan patriarkis.
Prosedur jahitan tambahan yang
melampaui dari apa yang diperlukan ini kiranya juga dapat dikualifikasikan
sebagai praktik female genital mutilation
(FGM). FGM diartikan sebagai tindakan yang bertujuan untuk menghilangkan
sebagian atau seluruh bagian luar alat kelamin perempuan atau tindakan yang
membuat cedera pada alat kelamin perempuan sebab alasan non-medis.[2]
Pada praktik husband stitch ini, output yang dihasilkan adalah
penyempitan atau pengetatan pada lubang vagina perempuan. Alasan husband stitch yang dilakukan untuk
menjaga sensasi dalam melakukan hubungan seksual justru berbanding terbalik
karena penyempitan pada lubang vagina perempuan justru mengganggu kesehatan
yaitu fungsi seksual pada perempuan, seperti rasa sakit dalam melakukan
hubungan seksual. Selain itu, stress secara fisik dan mental juga dapat dialami
oleh perempuan.[3]
Praktik yang demikian itu justru hanya semakin membuat perempuan mengalami rasa
sakit yang tidak hanya dirasakan ketika mengandung dan melahirkan saja, namun
rasa sakit pasca melahirkan yang berkepanjangan.
Sejatinya istilah husband stitch ini tidak ditemukan dalam
dunia medis termasuk dalam tataran perundang-undangan di Indonesia. Bahkan
belum terdapat bukti ilmiah maupun data konkrit yang menunjukkan jumlah korban
praktik husband stitch sehingga sulit
untuk divalidasi keberadaannya. Kiranya perlu melihat sisi lain sebagaimana
disampaikan oleh Yassin Yanuar Mohammad, seorang dokter kandungan, yang
menyatakan bahwa praktik husband stitch adalah
fiktif. Yassin mengatakan bahwa tenaga kesehatan memiliki prinsip untuk tidak
melukai dan membuat kualitas hidup ibu menjadi baik. Adapun tindakan jahitan
yang diberikan kepada ibu pasca melahirkan dimaksudkan untuk meminimalisasi
komplikasi persalinan atau pendarahan.[4]
Terlepas dari pro dan kontra yang ada di masyarakat, adapun ketika memang benar
praktik husband stitch terjadi bahkan
dilakukan tanpa persetujuan pasien dalam hal ini perempuan, maka praktik
tersebut merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan tersebut
turut berpengaruh terhadap hak atas kesehatan perempuan sebab mengakibatkan
penderitaan secara fisik (termasuk seksual) dan psikis pada perempuan.
Selanjutnya, tenaga kesehatan
yang melakukan praktik husband stitch
dapat dikatakan telah melakukan malpraktik sebab melakukan tindakan medis yang
tidak seharusnya dilakukan bahkan merugikan pasien. Pada dasarnya, setiap
tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien setelah pasien
tersebut memperoleh dan memahami informasi yang cukup dari dokter atau tenaga
medis menganai tindakan yang akan dilakukan sehingga itulah yang disebut
sebagai informed consent.[5] Mengenai
informed consent ini juga telah
diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia di antaranya
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Pasal 56
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), hingga
Pasal 58 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Urgensi informed consent tersebut guna
memberikan perlindungan bagi pasien, khususnya perempuan dalam menerima
tindakan medis pasca melahirkan. Ketiadaan informed
consent hanya akan menciderai hak atas kesehatan bagi perempuan sebagaimana
telah dijamin dalam UU Kesehatan seperti hak untuk memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, hak untuk secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan
sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan untuk dirinya, hingga hak untuk mendapatkan
informasi atas kesehatannya. Lalu, hak atas kesehatan pada dasarnya juga mencangkup
2 (dua) aspek penting yaitu kebebasan (freedom)
dan keberhakan (entitlements).
Kebebasan berarti hak untuk mengontrol tubuh dan kondisi kesehatannya,
sedangkan keberhakkan berarti memberikan hak untuk mendapatkan layanan
kesehatan yang tidak diskriminatif dan menjunjung kesetaraan dan kesempatan
yang sama yaitu seperti hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.[6]
Oleh karena itu, praktik husband stitch secara otomatis membawa konsekuensi yaitu terlanggarnya hak asasi perempuan atas otoritas tubuhnya. Terlebih husband stitch sendiri telah meniadakan informed consent bagi perempuan sehingga menciderai hak atas kesehatan bagi perempuan. Jangan sampai ada praktik-praktik dalam dunia kesehatan yang justru turut berkontribusi pada pelanggaran hak asasi perempuan dalam memperoleh hak atas kesehatannya. Apabila hal tersebut terjadi, maka sama dengan memberikan impunitas bagi praktik-praktik kekerasan terhadap perempuan yang berujung pada ketidaksetaraan gender.
Penulis:
Elsa Ardhilia Putri ( Alumnus Kalambahu 2022)
[1] Kompas.com,
‘Apa itu Husband Stitch yang dialami
ibu Setelah Persalinan’, <https://www.kompas.com/tren/read/2022/01/22/203000765/apa-itu-husband-stitch-yang-dialami-ibu-setelah-persalinan-?page=all>,
diakses pada 26 November 2022.
[2] World
Health Organization,
‘Types of Female Genital Mutilation’, <https://www.who.int/teams/sexual-and-reproductive-health-and-research-(srh)/areas-of-work/female-genital-mutilation/types-of-female-genital-mutilation>,
diakses pada 26 November 2022.
[3]
Center for Indonesian Medical Students’ Activities, ‘Female Genital Mutilation:
Medical Aspects’,
<https://cimsa.fk.ugm.ac.id/2021/02/05/female-genital-mutilation-medical-aspects/>,
diakses pada 26 November 2022.
[4] Tirto.id,
‘Menyingkap Fakta Husband Stitch:
Istilah Sumir dalam Dunia Medis’, <https://tirto.id/menyingkap-fakta-husband-stitch-istilah-sumir-dalam-dunia-medis-goxM>,
diakses pada 26 November 2022.
[5] Irfan,
“Kedudukan Informed Consent Dalam
Hubungan Dokter dan Pasien”, De Lega Lata, Vol 3 No 2, Desember 2018, h. 157.
[6] LBH
Masyarakat, Buku Saku Hak Atas Kesehatan, 2019, h.1.