Akhir-akhir ini, pendekatan keadilan restoratif mulai diintroduksi sebagai
model pendekatan baru dalam penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Keadilan restoratif menurut Tony
F. Marshall ialah
suatu proses ketika semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu
berkumpul untuk bersama-sama menyelesaikan ketidakseimbangan yang diakibatkan
dari pelanggaran yang dilakukan.[1]
Dalam
pendekatan restoratif, suatu pelanggaran tidak diselesaikan dengan menghukum
pelaku, melainkan dengan dilakukannya komunikasi langsung antara korban dan
pelaku, seringkali juga melibatkan fasilitator atau perwakilan dari masyarakat
yang terdampak untuk menyepakati penyelesaian permasalahan akibat pelanggaran, baik
dalam bentuk permintaan maaf, ganti rugi dan pemulihan hak-hak korban, maupun
janji untuk tidak mengulangi pelanggaran.[2] Di Indonesia, penerapan
pendekatan keadilan restoratif digadang-gadang dapat menjadi alternatif solusi
untuk menanggulangi terlalu penuhnya (over
crowded) lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan.[3]
Saat ini, pengaturan
keadilan restoratif dijumpai dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor
15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (selanjutnya
disebut Perja 15/2020) untuk tingkat penuntutan dan Peraturan Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana
Berdasarkan Keadilan Restoratif (selanjutnya disebut Perpol 8/2021) untuk
tingkat penyelidikan dan penyidikan.
Permasalahannya, dalam praktiknya, pendekatan keadilan restoratif justru kerap
dijadikan alat untuk menjustifikasi penyelesaian kasus kekerasan seksual
melalui jalur damai atau bahkan yang paling parah menikahkan pelaku dengan
korban. Tentu masih segar dalam ingatan kita terkait kasus pemerkosaan terhadap
ND (27), pegawai honorer Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM), oleh 4
(empat) rekan kerjanya pada akhir 2019 lalu. Setelah keluarga korban
diintimidasi oleh pelaku dan dipaksa untuk menikah dengan salah satu pelaku
pada 12 Maret 2020, Kepolisian Kota Bogor menghentikan kasus tersebut dengan
dalih keadilan restoratif.[4]
Pada kasus lainnya, dugaan penyekapan dan pemerkosaan yang menimpa AS (15),
siswi SMP di Pekanbaru, yang dilakukan oleh anak anggota DPRD Pekanbaru
berinisial AR (21) juga berujung damai setelah keluarga pelaku terus menemui
keluarga korban hingga bersepakat berdamai lewat surat perdamaian.[5]
Salah kaprah penerapan keadilan restoratif sebagai pembuka jalan
penyelesaian kasus kekerasan seksual melalui kesepakatan damai dan pernikahan
korban dengan pelaku tersebut semakin menghambat pemenuhan hak-hak korban dan
justru mereplikasi kekerasan dan trauma pada korban. Perlu digarisbawahi, bahwa
kasus kekerasan seksual memiliki tipologi khusus
yaitu adanya
ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Dengan adanya ketimpangan
relasi kuasa ini, maka sekalipun dilakukan melalui proses dialog antara pelaku
dan korban, penyelesaian kasus kekerasan seksual melalui jalur damai sangat
kental diwarnai dengan tekanan dan intimidasi dari pihak pelaku dan keluarganya
sehingga korban tidak dapat memiliki kehendak bebas dalam proses dialog
tersebut. Apalagi, dengan dinikahkannya pelaku dengan korban dan membingkainya
sebagai salah satu jalan keadilan restoratif justru sangat menyalahi semangat
keadilan restoratif untuk memulihkan kerugian dan penderitaan yang dialami
korban. Sebab dengan dinikahkannya pelaku dengan korban, korban justru rentan
mendapat kekerasan kembali (reviktimisasi) dari pelaku dan harus berhadapan
dengan rasa traumanya sepanjang waktu. Menurut Mariana Amiruddin, Wakil Ketua
Komnas Perempuan, implementasi prinsip keadilan restoratif dalam perkara
perkosaan bukan dengan jalan menikahkan pelaku dengan korban, melainkan lebih
berfokus pada pemulihan korban.[6]
Berkaitan dengan esensi pendekatan keadilan restoratif dalam kasus
kekerasan seksual yang berfokus pada pemulihan korban, sejatinya hal ini telah
diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual (selanjutnya disebut UU TPKS), tepatnya pada Bab V tentang
Hak Korban, Keluarga Korban, dan Saksi. Dalam Pasal 67 UU TPKS, disebutkan
bahwa hak korban meliputi hak atas penanganan, hak atas pelindungan, dan hak
atas pemulihan. Selain itu, terkait penerapan keadilan restoratif dalam kasus
kekerasan seksual yang dimaknai sebagai penyelesaian di luar proses peradilan
sejatinya juga telah dilarang dalam UU TPKS. Pasal 23 UU TPKS menyatakan,
“Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di
luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang”.
Ketidaktepatan penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian kasus
kekerasan seksual di Indonesia saat ini dapat dianalisis dari 3 faktor, yakni
substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Dari segi substansi hukum,
baik Perja 15/2020 dan Perpol 8/2021 tidak menyebutkan secara tegas terkait pengecualian perkara kekerasan
seksual untuk diselesaikan melalui
pendekatan keadilan restoratif. Hal ini kemudian
membuka ruang diskresi bagi polisi maupun jaksa untuk menerapkan jalur damai
yang dibingkai dalam keadilan restoratif terhadap perkara kekerasan seksual.
Segi substansi hukum yang masih kurang sempurna tersebut didukung dengan
kondisi aparat penegak hukum yang masih belum berperspektif korban dan memiliki
sensitivitas gender dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Hal ini nyata
terjadi misalnya pada pengancaman dan pemaksaan damai oleh Kanit Reskrim dan Penyidik Polsek Tambusai Utara terhadap korban pemerkosaan di Riau.[7]
Di samping itu, dari segi budaya hukum, masyarakat juga masih permisif terhadap
kasus kekerasan seksual (rape culture).
Bagi keluarga korban, tak jarang kasus kekerasan seksual sebagai sebuah aib
yang harus ditutupi sehingga keluarga korban justru memilih damai dengan pelaku
dan bahkan menikahkan paksa korban dengan pelaku. Selain itu, masih langgengnya
rape culture ini juga ditandai dengan
minimnya ruang aman bagi korban kekerasan seksual untuk menceritakan kekerasan
yang dialaminya untuk mendapatkan keadilan (speak
up) sebab korban justru rentan mendapatkan penghakiman balik dari publik
atau lawan bicaranya dan bahkan rentan mengalami kriminalisasi dari pelaku
dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Oleh karena itu, sudah saatnya UU TPKS diimplementasikan secara holistik
sehingga tidak membuka ruang-ruang justifikasi penyelesaian jalur damai dengan dalih
keadilan restoratif dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual. Selain itu,
juga diperlukan harmonisasi dan perbaikan terhadap peraturan-peraturan terkait
keadilan restoratif, baik Perja 15/2020 maupun Perpol 8/2021 agar tidak membuka
ruang-ruang diskresi untuk penyelesaian kasus kekerasan seksual menggunakan
pendekatan keadilan restoratif. Untuk menujang hal tersebut, aparat penegak
hukum juga perlu melakukan koordinasi
dan sinergisasi agar tidak membuka ruang penyelesaian kasus
kekerasan seksual dengan jalur keadilan restoratif yang jauh dari rasa keadilan
bagi korban. Edukasi kekerasan seksual dan gender juga perlu didiseminasi kepada
aparat penegak hukum dan masyarakat sehingga dapat memiliki perspektif korban
terhadap kasus kekerasan seksual dan tidak memupuk rape culture yang mereviktimisasi korban.
Penulis: Ika Putri Rahayu (Alumnus Kalambahu 2022)
[1] Tony F. Marshall, Restorative Justice: an Overview, CreateSpace
Independent Publishing Platform, Scotts
Valley, 2018, h. 5.
[2] Carrie
Menkel-Meadow, “Restorative Justice: What Is It and Does It Work?”, The Annual Review of Law and Social Science,
Vol. 3, No. 10, h. 2.
[3] Arrijal
Rahman, “Pemerintah Bakal Gunakan Keadilan Restoratif Antisipasi Lapas Penuh”, Tempo.co (online), 17 Maret 2022, dalam https://nasional.tempo.co/read/1571727/pemerintah-bakal-gunakan-keadilan-restoratif-antisipasi-lapas-penuh, diakses
pada 26 November 2022.
[4] BBC News
Indonesia, “Kasus Dugaan Pemerkosaan Pegawai Kemenkop UKM: ‘Ini Aib untuk
Kementerian, bagi Keluarga Kami Ini Musibah’”, BBC.com (online), 26 Oktober 2022, dalam https://www.bbc.com/indonesia/articles/ce5gze14rn0o, diakses
pada 26 November 2022.
[5] Raja Adil
Siregar, “Duit Rp 80 Juta di Balik Perdamaian Kasus Anak Anggota DPRD
Pekanbaru”, detikNews (online), 08
Januari 2022, dalam https://news.detik.com/berita/d-5886547/duit-rp-80-juta-di-balik-perdamaian-kasus-anak-anggota-dprd-pekanbaru, diakses
pada 26 November 2022.
[6] Tsarina
Maharani, “Komnas Perempuan: Restorative Justice Bukan Berarti Menikahkan
Korban dan Pelaku Perkosaan”, Kompas.com (online),
17 Februari 2022, dalam https://nasional.kompas.com/read/2021/02/17/16525911/komnas-perempuan-restorative-justice-bukan-berarti-menikahkan-korban-dan, diakses
pada 26 November 2022.
[7] David
Oliver Purba, “Kanit Reskrim dan Penyidik Polsek Tambusai Utara, Pengancam Ibu
Korban Pemerkosaan 4 Pria, Dimutasi”, Kompas.com
(online), 12 Desember 2021, dalam https://regional.kompas.com/read/2021/12/12/075737978/kanit-reskrim-dan-penyidik-polsek-tambusai-utara-pengancam-ibu-korban?page=all, diakses
pada 26 November 2022.