Bantuan hukum untuk rakyat miskin, buta hukum, dan korban pelanggaran HAM

Pernyataan sikap YLBHI dan 18 LBH Kantor pada Hari Perempuan Internasional 2023 Menggugat Negara, Perempuan Angkat bicara!

1500 perempuan pekerja di New York, Amerika Serikat, turun ke jalan pada tahun 1908. Mereka menuntut atas standar upah yang layak, hak untuk memilih dan pemangkasan jam kerja untuk para pekerja. Tahun itu, menjadi sejarah gerakan perempuan yang ada di Dunia. Kemudian, 8 maret 1917, perempuan di Rusia melakukan aksi mogok kerja untuk menuntut haknya. Tanggal 8 maret ini pulalah yang kemudian menjadi sejarah Hari Perempuan Internasional.
 
Hingga saat ini, perjuangan perempuan melalui banyak sekali hambatan dan tantangan. Bahkan mereka masih mendapatkan banyak ketidakadilan dalam berbagai sektor. Kami mencatat beberapa kondisi ketidakadilan dan diskriminasi berdasarkan gender yang terjadi, diantaranya adalah:
 
1.    Penanganan kasus kekerasan seksual pasca disahkannya UU TPKS tidak berjalan maksimal
 
Pengesahan UU TPKS tampaknya telah memicu kesadaran dan keberanian korban untuk tidak mendiamkan kekerasan yang dialami. YLBHI mencatat bahwa terdapat 192 aduan berkaitan dengan kasus kekerasan berbasis gender selama tahun 2022.
 
UU TPKS membawa angin segar bagi perlindungan korban, tetapi sayangnya kebijakan ini masih belum sepenuhnya implementatif, utamanya berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut kepentingan korban. Kami mencatat bahwa dalam UU TPKS memberikan amanat untuk membentuk 5 Peraturan Pemerintah (PP) dan 5 Peraturan Presiden (Perpres) sebagai aturan turunan yang sifatnya teknis. Belum selesainya aturan turunan sebagai pelaksana UU TPKS menyisakan beberapa kendala dalam upaya advokasi. Beberapa diantaranya mengenai belum siapnya “infrastruktur” yang diamanatkan dalam UU TPKS, seperti belum meratanya pembentukan UPTD atau PPT di bawah pemerintah daerah sebagai tempat bagi korban untuk mengupayakan pemulihan dan perlindungan secara gratis, yang jangkauannya bisa diakses secara mudah oleh korban maupun pendamping. Karena permasalahan ini, tidak jarang lembaga-lembaga pemerintah-lah yang merujuk penanganan kasus kepada lembaga layanan maupun organisasi bantuan hukum yang memiliki fokus terhadap isu kekerasan seksual.
 
Persoalan lain adalah berkaitan dengan anggaran. Mengingat UU TPKS disahkan setelah penetapan APBD 2022, sehingga pengalokasian anggaran daerah untuk kepentingan perlindungan korban masih sangat minim, dan alasan itulah yang menyebabkan beberapa daerah seakan tidak siap ketika mendapat rujukan untuk pemulihan dan perlindungan korban.
 
2.    Kebijakan pemerintah yang mendiskriminasi Kelompok Minoritas Gender dan Seksual semakin banyak
 
Kekerasan dan diskriminasi terhadap LGBT masih terjadi. Salah satunya adalah perisakan dan diskriminasi oleh dosen terhadap mahasiswa karena menjawab pertanyaan yang
menyebut dirinya sebagai non biner, pada penerimaan mahasiswa di salah satu kampus di Kota Makassar. Potongan video peristiwa tersebut lalu beredar dan memunculkan beragam komentar di publik berupa provokasi kebencian. Mulai dari teror dan doxing yang diterima korban di media sosial, hingga usulan salah satu ormas tentang undang-undang hukuman mati bagi LGBT pada pemberitaan di media massa.
 
Pemerintah yang bertanggung jawab atas perlindungan bagi LGBT sebagai warga negara dan minoritas, justru mengeluarkan kebijakan yang bertentangan. Pemerintah Sulawesi Selatan dan Bogor telah mengeluarkan Perda yang mendiskriminasi LGBT. Wali Kota Bandung mendukung pembentukan Perda tentang LGBT. Kondisi ini didukung dengan adanya 53 aturan yang diskriminatif atau tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan di Jawa Barat, diantaranya tercatat masing-masing ada satu aturan, yaitu di Kota Bandung, Bekasi, Cirebon, Garut, Indramayu, dan Kota Tasikmalaya. Di Cianjur ada empat aturan diskriminatif, sementara tujuh aturan masing-masing didapat di Kabupaten Tasikmalaya dan Sukabumi.
 
Baru-baru ini juga, Walikota Medan dan Pekanbaru mengeluarkan pernyataan yang memicu adanya kebencian terhadap kelompok LGBT. Hal ini tentu akan semakin memicu tindakan-tindakan diskriminatif, pelanggaran HAM, dan persekusi terhadap kelompok LGBT. Pada kasus lainnya persekusi terhadap LGBT dilakukan hingga ke ruang privat yakni rumah tinggal, atau pada kasus lain pembubaran kegiatan tertutup yang dituduh sebagai kegiatan LGBT dimana aparat kepolisian ikut terlibat.
 
3.    Perempuan pejuang lingkungan mendapatkan represifitas yang berlapis
 
Perempuan pejuang lingkungan mendapatkan represifitas dan intimidasi yang berlapis. Seperti perempuan di Desa Wadas yang saat ini masih kokoh dan semangat dalam menjaga alamnya dari proyek pertambangan. Atas dasar pengetahuan kritis tentang budaya eksploitatif yang merugikan, dan berdasarkan pengalaman konkrit perempuan-perempuan Wadas sehingga memproduksi pengetahuan baru yang melahirkan satu gerakan perempuan. Wadon Wadas, merupakan kelompok perempuan yang tinggal dan hidup di desa Wadas terdiri dari ibu, anak, dan lansia. Ketakutan akan kehilangan mata air bersih, bencana longsor, kehilangan alat produksi (tanah), serta lingkungan yang aman, damai dan tentram membuat mereka bersikukuh untuk menolak proyek penambangan batuan andesit.
 
4.    Penegakan Hukum yang Gagal Melindungi Korban KDRT
 
Dari sedikit korban KDRT yang memilih melaporkan pelaku ke polisi, penegakan hukum justru lemah dalam melindungi perempuan dan anak korban KDRT. Aparat penegak hukum masih memprioritaskan mediasi dan abai pada kepentingan perempuan korban, termasuk pula melakukan praktik pembiaran laporan atau penanganan berlarut. Sehingga hampir tidak ada kasus yang sampai ke persidangan dan korban memperoleh keadilan. Pada salah satu kasus yang didampingi Makassar, abainya aparat penegak hukum pada laporan korban yang mengalami kekerasan berulang, memaksa perempuan korban tetap hidup dengan pelaku.
 
Kondisi ini membuat korban terpaksa melakukan pembelaan diri yang justru diganjar laporan balik oleh suaminya. Ironisnya laporan polisi yang dibuat oleh suaminya yang merupakan anggota TNI diproses hingga menempatkan korban kini sebagai terdakwa. Korban bahkan
sempat ditahan selama 4 bulan dan dijauhkan dari dua anaknya yang masih balita. Aparat penegak hukum seringkali mengabaikan adanya relasi kuasa dan pengalaman kekerasan yang berulang saat korban melaporkan kekerasan yang dialami korban. Penegakan hukum yang buta pada ketimpangan relasi kuasa tersebut secara signifikan menjauhkan keadilan dari perempuan.
 
5.    Kebijakan Negara yang mendiskriminasi perempuan (Perppu Cipta Kerja dan UU ITE)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker), yang di dalamnya meniadakan cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan, hal ini merupakan salah satu tanda bagaimana peran pembuat kebijakan tak berpihak pada perempuan. Kemudian, draf revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pun masih mengandung berbagai permasalahan, seperti potensi pemidanaan bagi perempuan korban kekerasan salah satunya.
 
6.    Segera sahkan RUU PPRT dan RUU Masyarakat Adat
perempuan masih sangat membutuhkan produk hukum yang berpihak dan menjamin hak-haknya seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) serta RUU Masyarakat Adat, yang masih belum menunjukkan tanda akan disahkan dalam waktu dekat.
 
YLBHI juga mempunyai catatan khusus terkait laporan kekerasan berbasis gender selama tahun 2022. Catatan tersebut dapat anda baca pada lampiran siaran pers ini:
 
Berbagai kondisi serta realita pengalaman demikian menandakan kondisi ideal di mana perempuan dapat bebas dari segala bentuk ketidakadilan masih jauh dari terwujud. Maka dari itu, pada peringatan IWD tahun 2023 ini, YLBHI dan 18 LBH Kantor menyerukan tuntutan berikut