1500 perempuan pekerja di New York, Amerika Serikat, turun ke jalan pada
tahun 1908. Mereka menuntut atas
standar upah yang layak, hak untuk memilih dan pemangkasan jam kerja untuk para pekerja. Tahun itu,
menjadi sejarah gerakan perempuan yang ada di Dunia. Kemudian, 8 maret 1917, perempuan di Rusia melakukan aksi
mogok kerja untuk menuntut haknya. Tanggal
8 maret ini pulalah yang
kemudian menjadi sejarah Hari Perempuan Internasional.
Hingga
saat ini, perjuangan perempuan melalui banyak sekali hambatan dan tantangan. Bahkan mereka masih mendapatkan banyak
ketidakadilan dalam berbagai sektor. Kami mencatat
beberapa kondisi ketidakadilan dan diskriminasi berdasarkan gender yang
terjadi, diantaranya adalah:
1.
Penanganan kasus kekerasan seksual
pasca disahkannya UU TPKS tidak
berjalan maksimal
Pengesahan
UU TPKS tampaknya telah memicu kesadaran dan keberanian korban untuk tidak mendiamkan kekerasan yang dialami.
YLBHI mencatat bahwa terdapat 192 aduan berkaitan dengan
kasus kekerasan berbasis
gender selama tahun 2022.
UU
TPKS membawa angin segar bagi perlindungan korban, tetapi sayangnya kebijakan
ini masih belum sepenuhnya implementatif, utamanya berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut kepentingan korban. Kami mencatat
bahwa dalam UU TPKS memberikan amanat
untuk membentuk 5 Peraturan Pemerintah (PP) dan 5 Peraturan Presiden (Perpres) sebagai aturan turunan yang sifatnya
teknis. Belum selesainya aturan turunan sebagai pelaksana UU TPKS menyisakan beberapa
kendala dalam upaya advokasi. Beberapa
diantaranya mengenai belum siapnya “infrastruktur” yang diamanatkan
dalam UU TPKS, seperti belum meratanya pembentukan UPTD atau PPT di bawah pemerintah daerah sebagai
tempat bagi korban untuk mengupayakan pemulihan dan
perlindungan secara gratis, yang
jangkauannya bisa diakses secara mudah oleh korban maupun pendamping. Karena permasalahan ini, tidak jarang lembaga-lembaga pemerintah-lah yang merujuk penanganan kasus kepada lembaga
layanan maupun organisasi
bantuan hukum yang memiliki fokus terhadap isu kekerasan seksual.
Persoalan
lain adalah berkaitan dengan anggaran. Mengingat UU TPKS disahkan setelah penetapan
APBD 2022, sehingga
pengalokasian anggaran daerah untuk kepentingan perlindungan korban masih sangat minim, dan alasan itulah yang
menyebabkan beberapa daerah seakan tidak siap ketika mendapat
rujukan untuk pemulihan dan perlindungan korban.
2.
Kebijakan pemerintah yang mendiskriminasi Kelompok Minoritas Gender dan Seksual
semakin banyak
Kekerasan
dan diskriminasi terhadap LGBT masih terjadi. Salah satunya adalah perisakan dan diskriminasi oleh dosen terhadap mahasiswa karena menjawab pertanyaan
yang
menyebut
dirinya sebagai non biner, pada penerimaan mahasiswa di salah satu kampus di Kota Makassar. Potongan video peristiwa
tersebut lalu beredar dan memunculkan beragam
komentar di publik berupa provokasi kebencian. Mulai dari teror dan
doxing yang diterima korban di media
sosial, hingga usulan salah satu ormas tentang undang-undang hukuman mati bagi LGBT pada pemberitaan di media massa.
Pemerintah
yang bertanggung jawab atas perlindungan bagi LGBT sebagai warga negara dan minoritas, justru mengeluarkan kebijakan yang
bertentangan. Pemerintah Sulawesi Selatan dan Bogor telah mengeluarkan Perda yang mendiskriminasi LGBT. Wali Kota Bandung mendukung
pembentukan Perda tentang
LGBT. Kondisi ini didukung dengan adanya
53 aturan yang diskriminatif atau tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan di
Jawa Barat, diantaranya tercatat
masing-masing ada satu aturan, yaitu di Kota Bandung, Bekasi, Cirebon,
Garut, Indramayu, dan Kota Tasikmalaya. Di Cianjur ada empat aturan
diskriminatif, sementara tujuh aturan masing-masing didapat di Kabupaten
Tasikmalaya dan Sukabumi.
Baru-baru
ini juga, Walikota Medan dan Pekanbaru mengeluarkan pernyataan yang memicu adanya
kebencian terhadap kelompok
LGBT. Hal ini tentu akan semakin memicu tindakan-tindakan
diskriminatif, pelanggaran HAM, dan persekusi terhadap kelompok LGBT. Pada kasus lainnya persekusi terhadap
LGBT dilakukan hingga ke ruang privat yakni rumah tinggal, atau pada kasus lain pembubaran kegiatan tertutup
yang dituduh sebagai kegiatan LGBT dimana
aparat kepolisian ikut terlibat.
3. Perempuan pejuang lingkungan mendapatkan represifitas yang berlapis
Perempuan pejuang
lingkungan mendapatkan represifitas dan intimidasi yang berlapis.
Seperti perempuan di Desa Wadas yang saat ini masih kokoh dan semangat dalam menjaga alamnya
dari proyek pertambangan. Atas dasar pengetahuan kritis tentang budaya eksploitatif
yang merugikan, dan berdasarkan pengalaman konkrit perempuan-perempuan Wadas sehingga memproduksi pengetahuan baru yang melahirkan satu gerakan perempuan. Wadon Wadas, merupakan kelompok
perempuan yang tinggal dan hidup di desa
Wadas terdiri dari ibu, anak, dan lansia. Ketakutan akan kehilangan mata air
bersih, bencana longsor, kehilangan
alat produksi (tanah), serta lingkungan yang aman, damai dan tentram
membuat mereka bersikukuh untuk menolak proyek penambangan batuan andesit.
4. Penegakan Hukum yang Gagal Melindungi Korban KDRT
Dari
sedikit korban KDRT yang memilih melaporkan pelaku ke polisi, penegakan hukum justru lemah dalam melindungi perempuan
dan anak korban KDRT. Aparat penegak hukum masih
memprioritaskan mediasi dan abai pada kepentingan perempuan korban, termasuk pula melakukan praktik
pembiaran laporan atau penanganan berlarut. Sehingga hampir tidak ada kasus yang sampai ke persidangan
dan korban memperoleh keadilan. Pada salah satu
kasus yang didampingi Makassar, abainya aparat penegak hukum pada laporan
korban yang mengalami kekerasan
berulang, memaksa perempuan korban tetap hidup dengan pelaku.
Kondisi
ini membuat korban terpaksa melakukan pembelaan diri yang justru diganjar laporan balik oleh suaminya. Ironisnya laporan
polisi yang dibuat oleh suaminya yang merupakan anggota TNI diproses
hingga menempatkan korban kini sebagai
terdakwa. Korban bahkan
sempat
ditahan selama 4 bulan dan dijauhkan dari dua anaknya yang masih balita. Aparat penegak hukum seringkali mengabaikan
adanya relasi kuasa dan pengalaman kekerasan
yang berulang saat korban melaporkan kekerasan yang dialami korban.
Penegakan hukum yang buta pada
ketimpangan relasi kuasa tersebut secara signifikan menjauhkan keadilan dari perempuan.
5. Kebijakan Negara yang mendiskriminasi perempuan (Perppu Cipta Kerja dan UU ITE)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022
tentang Cipta Kerja (Perppu
Ciptaker), yang di dalamnya meniadakan cuti haid dan melahirkan bagi pekerja
perempuan, hal ini merupakan salah satu tanda bagaimana peran pembuat kebijakan tak berpihak pada perempuan.
Kemudian, draf revisi Undang-undang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pun masih mengandung berbagai
permasalahan, seperti potensi pemidanaan bagi perempuan korban kekerasan salah satunya.
6. Segera sahkan RUU PPRT dan RUU Masyarakat Adat
perempuan masih sangat membutuhkan produk hukum yang berpihak dan
menjamin hak-haknya seperti
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga (PPRT) serta RUU
Masyarakat Adat, yang masih belum menunjukkan tanda akan disahkan dalam waktu
dekat.
YLBHI
juga mempunyai catatan khusus terkait laporan kekerasan berbasis gender selama tahun 2022. Catatan
tersebut dapat anda baca pada lampiran siaran pers ini:
Berbagai kondisi serta realita pengalaman demikian menandakan kondisi
ideal di mana perempuan dapat bebas
dari segala bentuk ketidakadilan masih jauh dari terwujud. Maka dari itu, pada peringatan IWD tahun
2023 ini, YLBHI dan 18 LBH Kantor menyerukan
tuntutan berikut