Jumat, 10 Maret 2023, warga yang
tergabung dalam Rukun Tani Sumberejo Pakel (RTSP) Desa Pakel, Banyuwangi dan
Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria dan Sumber Daya Alam
(Tekad Garuda), merasa kecewa dengan putusan hakim yang menggagalkan upaya
hukum warga. Pasalnya putusan sidang pra-peradilan sebagai langkah legal yang
ditempuh dinyatakan ditolak oleh Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi.
Putusan tersebut mutlak penuh
kejanggalan, kami menilai ada beberapa hal yang patut disoroti dan menjadi
perhatian publik. Apa yang kami sampaikan ini adalah fakta persidangan yang
warga dan tim hukum alami selama prosesnya. Catatan tersebut adalah:
Pada tanggal 17 Februari hakim
memutuskan untuk menunda sidang selama 14 hari, dikarenakan para termohon di antaranya
POLRESTA Banyuwangi dan POLDA Jatim tidak memenuhi panggilan/tidak datang. Hal
ini terjadi begitu saja dan seperti tidak terjadi ada apa termasuk sangsi dari
Pengadilan Negeri Banyuwangi yang dalam aturannya 7 hari sidang putus. Berarti
pelanggaran tersebut seharusnya tidak boleh ditoleransi karna sudah melanggar
aturan persidangan praperadilan.
Sidang lanjutan pada 3 Maret 2023
proses praperadilan hakim memberikan kelonggaran untuk para termohon di antaranya
POLRESTA Banyuwangi dan POLDA Jatim untuk menyiapkan data dan gagasan di
praperadilan. Pihak pengadilan khususnya hakim ada dugaan keperihakan pada
termohon.
Lalu, pada tanggal 10 maret pra-peradilan
warga pakel ditolak dengan Pertimbangan hakim terkait pasal 112 dan 227
merupakan ketentuan yg diberlakukan pada lingkup persidangan. Mekanisme pasal
112 dan 227 tidak relevan dengan pengujian penetapan sah atau tidaknya
tersangka. Prosedur ini tidak disinggung sama sekali. Karena hakim berpendirian
pasal 112 dan 227 itu berlaku untuk tingkat persidangan.
Padahal faktanya, pertama sejak
awal kami sampaikan dalam rilis
penahanan semena-mena, mengapa warga tidak memenuhi panggilan sejak proses
awal prosesnya cacat prosedural, dalam surat pemanggilan tidak menyebutkan
jelas apa alasan yang dituduhkan hanya mengatakan “menyebarkan berita bohon.”
Lalu, surat dikirimkan melalui kurir dan itu sampai H-1 sebelum proses
penyidikan di POLDA JATIM. Surat-surat lainnya pun juga sama, seperti surat
perintah penahanan juga disampaikan setelah penahanan semena-mena.
Menurut kami putusan hakim
gegabah, sebab merujuk pada pada Bab V Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) Nomor 81 Tahun 1981 telah mengatur mengenai penangkapan, penahanan,
penggeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan, dan pemeriksaan surat yang
merupakan rangkaian tindakan upaya paksa. Supaya panggilan itu sah dan
sempurna, maka harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
undang-undang. Ketentuan syarat sahnya panggilan pada tingkat pemeriksaan
penyidikan telah diatur dalam Pasal 112, Pasal 119 dan Pasal 227 KUHAP.
Karena itu pemanggilan oleh
penyidik pada tingkat pemeriksaan penyidikan, pada prinsipnya berlaku untuk
semua tingkat pemeriksaan bagi seluruh jajaran aparat penegak hukum, yang
berlaku untuk pemanggilan pada tingkat pemeriksaan penuntutan dan persidangan. Lalu
pada Pasal 227 KUHAP harus dijalankan sebagai pedoman terutama dalam tingkat
pemeriksaan penyidikan.
Maka dalam melakukan pemeriksaan
tindak pidana, penyidik dan penyidik pembantu memang mempunyai wewenang melakukan
pemanggilan terhadap tersangka, yang karena perbuatannya atau keadaannya
berdasarkan bukti permulaaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, atau
saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa, lalu pemanggilan seorang ahli yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
sesuatu perkara pidana yang sedang diperiksa. Maka panggilan yang dilakukan
oleh setiap aparat penegak hukum tersebut dapat dianggap sah dan sempurna,
sudah seharusnya memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang,
merujuk pada Pasal 112, 119 dan 227 KUHAP.
Argumen di atas tidak dipenuhi oleh POLDA Jatim,
sehingga kami mengguggatnya dalam sidang Pra-Peradilan. Serta hakim tidak
menjadikan pertimbangan, sehingga putusannya tidak memenuhi unsur keadilan, karena
pada aturan tersebut tentang tata cara pemanggilan yang diatur sah, serta hal
tersebut menjadi rujukan. Sehingga sejak awal sudah seharusnya hakim PN
Banyuwangi paham akan hal tersebut, tetapi faktanya berbeda. Hakim mengabaikan
fakta tersebut serta mengindikasikan pelanggaran etik dalam azas keadilan dan
azas profesionalitas.